Menurut Prof Dr Sumali Wiryowidagdo, Guru Besar Farmasi Universitas Indonesia, pemberian kategori produk herbal menjadi jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka, sesungguhnya lebih bertujuan merangsang industri obat tradisional untuk meningkatkan mutu dan kualitas produk herba yang beredar di pasaran.
Berdasarkan status pengujian
Pada
prinsipnya, obat tradisional yang bahannya berasal dari tumbuh-tumbuhan
asli Indonesia (produk herba) disebut jamu. Seiring dengan perkembangan
teknologi, berbagai penelitian mengenai jamu pun dilakukan. Penelitian
tersebut bertujuan untuk menguji khasiat, efektivitas, dan keamanan jamu
yang beredar di pasaran. Sesuai status pengujiannya, jamu dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok :
1. Jamu
Inilah produk herba yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran,
kita bisa menjumpainya dalam bentuk rebusan atau godhogan sebagaimana
dijajakan para penjual jamu gendong, herba kering siap seduh, juga dalam
bentuk segar. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam
bentuk bubuk, kapsul, pil, dan kemasan cair siap minum. Pada umumnya,
jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur,
dan belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal secara
empiris (berdasarkan pengalaman turun temurun).
2. Herba terstandar
Sedikit berbeda dengan jamu, herba terstandar umumnya sudah
mengalami pemrosesan, misalnya berupa ekstrak dalam kapsul. Herba yang
diekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji
pra-klinis (terhadap hewan) di laboratorium. Disebut herba terstandar,
karena dalam proses pembuatannya telah diterapkan standar kandungan
bahan, cara pengolahan, higienitas, serta uji toksisitas (untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan racun dalam herba tersebut). Jadi,
unsur-unsur di dalamnya sudah mengalami standarisasi. Di pasaran,
produk herbal yang berstatus herbal terstandar jumlahnya ada 17 macam.
Cara mengenalinya cukup mudah, yaitu dengan melihat logo yang umumnya
tercetak pada sebelah kiri atas kemasan. Herbal terstandar memiliki
simbol tiga tanda bintang yang berada di dalam lingkaran hijau muda, dan
berlatar belakang warna kuning cerah.
3. Fitofarmaka
Merupakan jamu dengan “kasta” tertinggi karena khasiat, keamanan, serta
standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara klinis (pada
manusia). Hal itu membuat fitofarmaka dianggap sebagai produk herba
yang sudah jelas bukti-bukti ilmiahnya sehingga berkedudukan sejajar
seperti obat kimia dan bisa diresepkan oleh dokter. Meskipun begitu,
fitofarmaka dijual secara bebas dan bisa dibeli tanpa resep dokter. Ciri
fitofarmaka, pada kemasan terdapat simbol gambar mirip akar yang berada
dalam lingkaran hijau muda, berlatar belakang warna kuning cerah.
Hingga saat ini, jenis produk herba berstatus fitofarmaka di Indonesia
baru 5 macam, yaitu Nodia (untuk diare non-spesifik), Rheumaneer (untuk
nyeri sendi), Stimuno (untuk meningkatkan kekebalan tubuh), Tensigard
(untuk tekanan darah tinggi), dan X-Gra (untuk gangguan ereksi). Menurut
Prof Sumali, keterbatasan jumlah fitofarmaka ini disebabkan oleh biaya
uji klinis dan uji khasiat yang sangat mahal dan memerlukan waktu cukup
lama.
sumber/ referensi
http://www.bioenergicenternews.com/2011/02/jamu-herbal-terstandar-dan-fitofarmaka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar